IHSG Menguat Ditopang Saham Konglomerasi, Meski Sinyal Ekonomi Masih Lemah

thumbnile

Foto: IDX Channel

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat pada sesi pertama perdagangan Rabu (4/6/2025), naik 0,47% atau bertambah 32,76 poin ke posisi 7.077,59. Tercatat 337 saham mengalami kenaikan, 268 melemah, dan 196 stagnan. Aktivitas perdagangan cukup tinggi, dengan nilai transaksi mencapai Rp 8,03 triliun dari perputaran 13,67 miliar saham.

Hampir semua sektor mengalami penguatan, terutama sektor barang baku dan properti. Namun, sektor keuangan masih menjadi penekan utama, mencatatkan kinerja negatif secara sektoral.

Saham-saham milik emiten konglomerasi menjadi penopang utama penguatan IHSG. Di antaranya, saham DSSA milik Grup Sinar Mas, AMMN dari Grup Salim, dan MBMA yang dinaungi oleh Saratoga dan Boy Thohir.

Meski IHSG menguat, kondisi ekonomi domestik masih menunjukkan sinyal pelemahan. Data deflasi, neraca dagang yang hampir defisit, dan aktivitas manufaktur yang terus melemah menunjukkan pemulihan ekonomi belum sepenuhnya solid. Pemerintah diharapkan mampu memberikan insentif untuk menjaga momentum pertumbuhan.

Deflasi dan Kinerja Manufaktur yang Melemah

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,37% secara bulanan (month-to-month) pada Mei 2025, menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun ini setelah Januari dan Februari. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai ini bukan disebabkan oleh melemahnya daya beli, melainkan dampak kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga, seperti diskon tarif transportasi.

Di sisi lain, sektor manufaktur Indonesia terus mencatatkan kontraksi. Data PMI manufaktur Mei 2025 yang dirilis oleh S&P Global berada di angka 47,4, menandakan pelemahan selama dua bulan berturut-turut. Penurunan permintaan dalam dan luar negeri menjadi penyebab utama, termasuk melemahnya ekspor ke AS.

Ketegangan Global dan Prediksi Ekonomi Dunia

Situasi geopolitik juga memberi tekanan pada pasar. Ukraina kembali melancarkan serangan terhadap Jembatan Krimea menggunakan bahan peledak bawah air, memperkeruh hubungan dengan Rusia. Sementara itu, perundingan damai kembali menemui jalan buntu karena syarat yang diajukan Rusia dianggap Ukraina terlalu berat.

OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,9% di 2025. Untuk Indonesia, pertumbuhan tahun ini diperkirakan hanya 4,7%, dipengaruhi oleh lemahnya sentimen bisnis, konsumsi yang melemah, dan investasi yang tertahan akibat ketidakpastian kebijakan dan tingginya biaya pinjaman.

Meski ada harapan dari belanja publik dan inflasi yang terkendali, risiko tetap besar. Ketegangan perdagangan global serta turunnya harga komoditas juga menjadi tantangan yang bisa menekan ekspor Indonesia.

Data Ketenagakerjaan AS dan Dampaknya ke Rupiah

Di Amerika Serikat, laporan JOLTS menunjukkan jumlah lowongan kerja meningkat menjadi 7,39 juta pada April, lebih tinggi dari perkiraan. Kenaikan ini membuat indeks dolar AS (DXY) menguat hingga 0,56% dan memberi tekanan tambahan terhadap rupiah yang terancam menyentuh Rp16.300 per dolar AS.

Hubungan Dagang AS-Tiongkok dan Pertemuan Pemimpin Dunia

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dijadwalkan melakukan pertemuan dalam waktu dekat, di tengah ketegangan dagang yang kembali memanas. Sebelumnya, kedua negara sempat menyepakati pengurangan tarif, namun hubungan memburuk setelah saling tuding melanggar kesepakatan. AS juga menuding Tiongkok menahan ekspor mineral penting, sementara Tiongkok mengecam peringatan AS terhadap penggunaan chip buatan negeri tirai bambu.

Situasi ini turut menekan pasar saham global, yang dibuka melemah akibat kekhawatiran investor terhadap prospek hubungan dagang dua raksasa ekonomi dunia tersebut.

Source: CNBC Indonesia